Saturday, May 31, 2008

Pelajaran Motivasi dari Tragedi Petualangan Antartika

Pelajaran tentang manajemen dan motivasi, kita tahu, tak hanya bisa kita reguk dari segudang konsep yang dilantunkan para pakar manajemen. Sebuah kisah tentang perjalanan kehidupan atau sepenggal cerita tentang petualangan acap justru membentangkan sederet proses pembelajaran yang amat kaya dan penuh nuansa.

Dan kisah yang sebentar lagi hendak saya hidangkan ke layar komputer Anda mungkin bisa memberikan proses pembelajaran yang penuh nuansa itu. Inilah sebuah kisah tentang perjalanan menaklukkan benua es Antartika. Sebuah pelajaran tentang motivasi dan tentang ketrampilan manajerial yang sungguh jenius. Juga sebuah kisah tentang heroisme, tentang spirit hidup, dan mungkin juga tentang perjuangan melawan maut. Maka, mari kita nikmati bersama sambil menyeduh hangatnya secangkir kopi ditengah rintik hujan yang terus merinai……

Pagi itu semburat sinar matahari berwarna keperakan baru saja berpendar…… Dan di pagi itu, tepat pada tanggal 14 Agustus 1914, sebuah kapal bernama Endurance melepas sauh dari galangan kapal di London, bergerak perlahan menuju benua tak terjamah bernama Benua Antartika. Inilah sebuah episode tentang perjalanan pertama manusia untuk menaklukkan benua di kutub paling utara Bumi ini. Sebuah perjalanan ambisius yang dipimpin oleh anak muda legendaris bernama Ernest Shackleton bersama 27 anak manusia yang amat sadar resiko yang akan dihadapinya.

Setelah menempuh perjalanan selama lima bulan menembus samudera dan membelah lautan luas, kapal itu mulai bergerak memasuki perairan benua Antartika. Dan persis di titik itulah, di tengah badai es dan suhu dibawah 15 derajat celcius, episode tragis dimulai : lautan bongkahan es yang terjal dan berton-ton beratnya menghantam lambung kapal, dan pelan-pelan merobohkannya. Jerit kepiluan membahana ditengah guyuran badai es yang tak mengenal ampun dan deburan ombak yang terus menggedor.

Ke-28 anak manusia itu akhirnya bisa bersandar di pantai es dengan hanya tiga sekoci dan bekal secukupnya. Mereka terdampar di tengah pantai es, ribuan km jaraknya dari kehidupan, tanpa peralatan komunikasi apapun (ingat, tahun itu belum ada satelit, juga belum ada helikopter dan pesawat terbang). Mereka terkapar ditengah lautan es yang tak berujung, ditemani gemuruh badai tanpa henti, dan segores senyum kecut untuk segera menyongsong………kematian.

Toh, lonceng kematian itu ternyata tak segera berdentang. Setelah melakukan analisa cuaca, Ernest Shackleton, sang leader, memutuskan agar mereka mesti menggelar kamp di pantai es itu untuk menunggu lautan es mencair – dan itu artinya mereka harus menunggu selama sekitar delapan bulan (duh!). Demikianlah, mereka lalu membuat kamp dari tiga sekoci yang diselamatkan dengan bekal makanan yang tersisa – plus berburu ikan disekeliling pantai untuk mengisi perut sehari-hari.

Selama delapan bulan itulah mereka hidup ditengah lautan es, terputus total dari peradaban, ditengah badai es yang selalu mengintai, dan empat bulan diantaranya tak secuilpun melihat sinar matahari. Ditengah suhu yang membeku itu, mereka harus terus menyalakan api semangat untuk bertahan hidup, meski pelan-pelan sinar api itu kian redup disapu deburan es yang tak pernah berhenti menerjang.

Namun, harapan semangat itu terus membara di dada sang leader, Ernest Shackleton. Setelah lautan es mulai mencair, ia memutuskan untuk mengajak lima orang anak buahnya berlayar menuju pulau terdekat guna mencari pertolongan. Jaraknya? 1200 km. Dengan apa mereka menuju pulau itu? Dengan salah satu sekoci yang berhasil diselamatkan. What?!! Bergerak 1200 kilometer menembus ganasnya laut kutub utara hanya dengan sekoci kecil sepanjang tujuh meter? Tak ada pilihan lain, ucap Ernest dengan penuh determinasi dan ketegasan.

Begitulah, di pagi yang terang itu, enam orang anak muda perlahan-lahan menaiki sekoci, bergerak menuju pulau terdekat di South Georgia. Selama 17 hari mereka kemudian bergerak membelah samudera, menembus kebekuan air es, dan ratusan kali dihempas gulungan ombak setinggi 7 meter. Hanya dengan sekoci kecil. Juga dengan nyala api kegigihan, semangat pantang menyerah, dan dengan sebongkah harapan untuk terus hidup…..

Mereka akhinya berhasil menaklukkan lautan itu, dan berhasil mencapai pemukiman terdekat untuk mencari pertolongan. Mereka segera mencari kapal untuk segera menjemput rekan-rekannya yang masih terdampar di pulau es ratusan kilometer jauhnya.

Dan benar, 22 rekannya juga menunggu dengan harap cemas : apakah mereka akan berhasil dijemput Ernest dkk atau dijemput ajal? Mereka sungguh berharap pada akhirnya bisa keluar dari pantai es yang pelan-pelan pasti akan membunuh mereka itu. Harapan mereka akhirnya terpenuhi, ketika di suatu petang, lamat-lamat mereka melihat sosok kapal di kejauhan. Mereka saling berpelukan, tanpa kata-kata…….hanya sesenggukan tangisan kecil yang terdengar, disela desiran angin yang membeku……

28 anak muda yang gagah berani itu akhirnya berhasil pulang kerumahnya masing-masing dengan selamat.

Lalu, pelajaran motivasi apa yang bisa dipetik dari drama krisis nan mendebarkan itu? Setidaknya terdapat dua aspek yang dengan jenius diperagakan oleh Ernest Shackleton selama mengelola anak buahnya dalam mengarungi drama itu.

Yang pertama adalah emotional stability yang kokoh. Dari kesaksikan para anak buahnya, selama dalam krisis yang mencekam itu, tak sekalipun Ernest pernah kehilangan emosi dan menunjukkan kepanikan. Atau marah dan menyalahkan keadaan atau anak buahnya. Ia tetap tenang, fokus pada solusi, dan memutuskan segalanya dengan kepala dingin.

Aspek yang kedua adalah ini : kemahiran untuk selalu memelihara harapan (hope) dan optimisme. Ditengah padang es yang membeku nan mematikan, apa lagi yang bisa dijejakkan selain keyakinan bahwa hidup masih layak untuk diteruskan? Dan itulah yang ada di kepala Ernest bahkan ketika himpitan badai dan gulungan ombak terus menggerus nyali keberaniannya. Keyakinan yang menghujam kuat bahwa kita pada akhirnya akan berhasil……...barangkali inilah energi maha dahsyat yang telah membawa Ernest dkk berhasil menaklukkan ganasnya lautan es.

Itulah dua aspek yang mungkin bisa kita petik. Kelak, ketika Anda menghadapi krisis dalam roda kehidupan Anda – apapun jenis krisis itu – maka ingatlah kisah dramatis ini, dan juga pelajaran yang terkandung didalamnya. Hadapi krisis itu dengan kepala dingin, dan jangan pernah biarkan harapan akan keberhasilan hilang terempas dari benak Anda. Hadapi tantangan hidup Anda dengan api kegigihan, semangat pantang menyerah, dan dengan sebongkah harapan untuk merebut kesuksesan. Sebab hanya dengan itu, perjalanan hidup Anda akan larut dalam buih keberhasilan dan tenggelam dalam samudera kemenangan.

sumber: strategi + manajemen
Sphere: Related Content

No comments: