Sunday, June 1, 2008

Pilih Mana: Manusia atau Sapi?

Siapa lebih baik: manusia atau sapi? Sepintas Anda mungkin akan langsung mengatakan:" Ya, pasti manusia dong." Tunggu dulu. Coba Anda perhatikan baik-baik fakta berikut ini. Seekor sapi pasti memberi manfaat bagi manusia, tetapi seorang manusia belum tentu memberi manfaat – bahkan lebih sering menghasilkan kemudaratan – bagi manusia lain. Selain itu ada yang lebih penting lagi. Seekor sapi hanya makan sebatas perutnya. Sapi tak pernah makan melebihi kebutuhannya. Sapi juga tak pernah menimbun makanan. Lantas, bagaimana dengan manusia?

Tahun demi tahun berlalu begitu cepat. Masa demi masa berganti. Akan tetapi, masalah yang kita hadapi masih yang itu-itu juga: keserakahan. Otonomi daerah ternyata telah memfasilitasi keserakahan baru di berbagai pelosok. Bahkan, keserakahan makin lama makin menunjukkan tingkat yang mengkhawatirkan. Walaupun secara makroekonomi tahun 2008 memberi sedikit harapan, angka-angka kemajuan ekonomi itu dibangun di atas landasan yang rapuh. Bukankah sejarah krisis ekonomi di mana pun menunjukkan bahwa yang menentukan kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa bukanlah angka-angka ini, yang bisa berubah cepat dalam tempo yang relatif singkat. Dasar dari segala kesuksesan adalah perilaku yang baik, yang menjauhi keserakahan.

Sejarah manusia memang selalu diwarnai keserakahan. Keserakahan adalah dosa manusia yang tertua. Keserakahanlah yang membuat Adam diusir dari surga; juga membuat Soeharto yang digelari oleh Persatuan Bangsa-Bangsa sebagai Pencuri Kekayaan Negara nomor satu di dunia jatuh secara tidak terhormat. Namun, pengalaman pahit tersebut tidaklah membuat orang jera. Orang justru terpacu menjadi makin cerdik untuk menemukan cara baru yang lebih canggih guna memuaskan keserakahannya.

Kalau kita renungkan baik-baik, kita akan melihat bahwa berbagai kasus yang terjadi sepanjang tahun 2007 berlatar belakang keserakahan. Lihatlah apa yang terjadi pada Adelin Lis dan para penegak hukum yang bersekongkol untuk membebaskannya. Lihatlah juga bagaimana gigihnya Menteri Kehutanan membela para pengusaha hutan dan berusaha mendepak Kapolda Riau yang sedang berjuang mengatasi pembalakan liar. Lihatlah perilaku petinggi Mahkamah Agung kita: melakukan intervensi pada pemilihan gubernur di Sulawesi Selatan; menolak diaudit Badan Pemeriksa Keuangan; memerintahkan Majalah Time untuk membayar denda Rp 1 triliun kepada Soeharto; serta merekayasa bebasnya Tommy Soeharto. Lihatlah pula apa yang terjadi dengan para wakil rakyat kita yang melakukan konspirasi dengan memilih Antasari Azhar sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Contoh-contoh di atas barulah sebagian kecil dari begitu banyak perilaku yang sebenarnya berlatar belakang sama: keserakahan.

Lebih jauh lagi, marilah kita melihat ke dalam diri kita sendiri. Bukankah banyak perilaku kita yang disebabkan oleh keserakahan? Dunia boleh berubah, teknologi boleh berkembang, tetapi masalah manusia dari dulu hingga sekarang ternyata belum pernah bergeser dari tema kuno, yaitu keserakahan.

Awal keserakahan adalah dari kebiasaan makan kita. Berapa banyak orang yang masih terus makan padahal sudah kenyang? Berapa banyak orang yang mengambil makanan lebih banyak dari yang dapat ditampung perutnya sendiri? Pepatah yang terkenal mengenai hal itu pun sering kita dengar, gYour eyes is bigger than your stomach.h

Bagaimana pula dengan perilaku kita berbelanja? Apakah kita hanya membeli apa yang kita butuhkan? Ataukah kita lebih banyak membeli yang kita inginkan? Atau, kita memang sulit membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan?

Bisakah kita membebaskan diri dari keserakahan? Tentu saja bisa, asalkan kita tahu apa penyebabnya. Menurut saya, ada tiga penyebab keserakahan. Pertama dan yang terutama adalah rasa takut. Kita senantiasa takut pada masa depan. Kita takut kekurangan, takut miskin. Pada tingkatan tertentu rasa takut ini sebenarnya wajar saja. Yang berbahaya adalah bila rasa takut ini sudah menjadi sebuah sindrom, gaya hidup, ataupun paradigma. Inilah yang membuat kita selalu merasa kurang, sehingga menginginkan sesuatu yang lebih banyak lagi. Ketakutan seperti inilah yang merasuki sebagian besar bangsa kita.

Penyebab kedua adalah karena kita menganggap diri kita semata-mata makhluk fisik. Ini membuat kita mengukur segala sesuatu semata-mata dari aspek fisiknya. Kita sering lupa bahwa kita tidak hidup untuk selama-lamanya, dan begitu kita mati kita meninggalkan apa yang kita kumpulkan, dan hanya membawa apa yang kita dermakan. Dalam paradigma fisik, berbagi berarti berkurang; padahal dalam spiritualitas, berbagi justru berarti bertambah.

Penyebab ketiga adalah karena kita tidak percaya kepada Tuhan. Kita mungkin percaya bahwa Tuhan itu ada, tetapi kita tidak sungguh-sungguh yakin bahwa Ia dapat menjamin masa depan kita. Inilah yang membuat kita senantiasa hidup dalam kerakusan. Perilaku kita sering menunjukkan bahwa kita lebih percaya pada segala sesuatu yang kasat mata, yang konkret, yang riil. Kita lebih percaya pada uang ketimbang kepada Tuhan.


sumber: swa
Sphere: Related Content

No comments: