Friday, October 10, 2008

Pelajaran untuk kita


Kisah Dua Manusia Super Ibukota tanpa disadari terkadang sikap apatis
menyertai saat langkah kaki mengarungi untuk mencoba menaklukan
ibukota negeri ini.

Semoga kita selalu diingatkan, sekedar berbagi cerita di forum orang -
orang super dalam keindahan hari ini.

Siang itu 13 Pebruari 2008, tanpa sengaja saya bertemu dua manusia
super. Mereka makhluk - makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh
keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberagan Harmoni, dua sosok
kecil berumur kira - kira delapan dan sepuluh tahun menjajakan tissue
dengan wadah kantong plastik hitam.

Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di
ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya
mengangkat tangan lebar - lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan
sopannya oleh mereka dengan ucapan "Terima kasih Om...!"

Dan saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka
sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka. Kaki - kaki kecil
mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan, menyapa seorang laki -
laik lain itupun menolak dgn gaya yang sama dgn saya, lagi - lagi
sayup - sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil
mereka, kantong hitam tempat stock tissue daganggan mereka tetap
teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta.

Saya melewatinya dengan lirikan ke arah dalam kantong itu, dua
pertiganya terisi tissue putih berbalut plastik transparan. Setengah
jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka
tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka
terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayut di
langit Jakarta.

"Terima kasih ya Mbak, semuanya dua ribu lima ratus rupiah!" tukas
mereka, tak lama si wanita meronggoh tasnya dan mengeluarkan uang
sejumlah sepuluh ribu rupiah.

"Maaf, ngak ada kembaliaanya. .. ada uang pas nggak Mbak?" mereka
menyodorkan kembali uang tersebut, si Mbak menggeleng, lalu dengan
sigapnya anak yang bertubuh lebih besar menghampiri saya yang tengah
mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

"Om boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan...? suaranya
mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit
terhenyak saya merongoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa
kembalian Food Court sebesar empat ribu rupiah.

"Nggak punya, tungkas saya...!" lalu tak lama si wanita
berkata "Ambil saja kembaliannya, dik...!" sambil berbalik badan dan
meneruskan langkahnya kearah ujung sebelah timur.

Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan
menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakannya
kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita
tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi.

Si wanita kaget setengah berteriak ia bilang "Sudah buat kamu saja,
gak apa - apa ambil saja...!" namum mereka berkeras mengembalikan
uang tersebut.

"Maaf Mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya
kembalikan.. !" Akhirnya uang itu diterima si wanita tersebut karena
si kecil pergi meninggalkannya.

Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu di genggam saya
tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan
berujar "Om.. tunggu ya, saya kebawah dulu untuk tukar uang ke tukang
ojek..!".

"Eeeeh.. nggak usah... nggak usah... biar aja..., nih...!" saya kasih
uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah
jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang
ojek.

Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak
satunya, "Nanti dulu om, biar ditukar dulu... sebentar".

"Nggak apa - apa..., itu buat kalian" lanjut saya.

"Jangan... jangan om, itu uang om sama Mbak yang tadi juga" anak Itu
bersikeras.

"Sudah nggak apa - apa.... saya ikhlas, Mbak tadi juga pasti ikhlas!"
saya berusaha menghalangi, namum ia menghalangi saya sejenak dan
berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera
cepat, secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan
berlari ke arah saya.

"Ini deh Om .... kalau kelamaan, maaf ya..." ia memberikan saya 8
pack tissue.

"Lho buat apa...?" saya terbenggong. .

"Habis teman saya lama sich Om.. maaf tukar pakai tissue aja dulu"

Walau dikembalikan ia tetap menolak. Saya tatap wajahnya, perasaan
bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh
menutup rapat tas plastik hitam tissuenya.

Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali
dengan genggaman uang receh sepuluh ribu dan mengambil tissue dari
tangan saya serta memberikan uang empat ribuan.

"Terima kasih Om...!" mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup -
sayup terdengar percakapan.. .."Duit Mbak tadi bagaimana ya..?" suara
kecil yang lain menyahut "Lu hafal kan orangnya, kali aja kita ketemu
lagi ntar kita berikan uangnya"

Percakapan itu sayup – sayup menhilang, saya terhenyak dan kembali ke
kantor dengan seribuperasaan. Tuhan .... hari ini saya belajar dari
dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta
membuat saya trenyuh dan terharu, mereka berbalut baju lusuh tapi
hati dan kemuliaannya sehalus sutra.

Mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak
meminta minta tap dengan berdagang tissue. Dua anak kecil yang bahkan
belum akil balik, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu
sangat belia.

Saya membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun
berkurang rejeki kita meski dalam rejeki itu sebetulnya ada hak atau
milik orang lain....

"Usia memang tidak menjamin kita menjadi bijaksana tapi kitalah yang
memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak"

`YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO`

`ENGKAU HANYA SEMULIA YANG ENGKAU KERJAKAN
Sphere: Related Content
Thursday, October 9, 2008

Penjara Pikiran


Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya, dengan gembira dia melompat-lompat menikmati kebebasannya. Di perjalanan dia bertemu dengan seekor belalang lain, namun dia keheranan mengapa belalang itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya. Dengan penasaran dia menghampiri belalang lain itu dan bertanya, "Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh dariku, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia maupun ukuran tubuh?" Belalang itu menjawabnya dengan pertanyaan, "Dimanakah kau tinggal selama ini? Semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan." Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang telah membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.

Kadang-kadang kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang tersebut. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan beruntun, perkataan teman, tradisi, dan kebiasaan bisa membuat kita terpenjara dalam kotak semu yang mementahkan potensi kita. Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apa yang mereka voniskan kepada kita tanpa berpikir dalam-dalam bahwa apakah hal itu benar adanya atau benarkah kita selemah itu? Lebih parah lagi, kita acap kali lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.

Tahukah Anda bahwa gajah yang sangat kuat bisa diikat hanya dengan seutas tali yang terikat pada sebilah pancang kecil? Gajah sudah akan merasa dirinya tidak bisa bebas jika ada "sesuatu" yang mengikat kakinya, padahal "sesuatu" itu bisa jadi hanya seutas tali kecil...

Pernahkah Anda bertanya kepada diri Anda sendiri bahwa Anda bisa "melompat lebih tinggi dan lebih jauh" kalau Anda mau menyingkirkan "penjara" itu? Tidakkah Anda ingin membebaskan diri agar Anda bisa mencapai sesuatu yang selama ini Anda anggap di luar batas kemampuan dan pemikiran Anda?

Sebagai manusia kita berkemampuan untuk berjuang, tidak menyerah begitu saja kepada apa yang kita alami. Karena itu, teruslah berusaha mencapai segala aspirasi positif yang ingin Anda capai. Sakit memang, lelah memang, tapi jika Anda sudah sampai di puncak, semua pengorbanan itu pasti akan terbayar. Pada dasarnya, kehidupan Anda akan lebih baik kalau Anda hidup dengan cara hidup pilihan Anda sendiri, bukan dengan cara yang dipilihkan orang lain untuk Anda.
Sphere: Related Content

Berhentilah Jadi Gelas


Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya
belakangan ini selalu tampak murung.

"Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di
dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang Guru bertanya.

"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk
tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya," jawab sang
murid muda.

Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.
Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu."
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan
gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana
yang diminta.

"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata
Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit."
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air
asin.

"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.

"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih
meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis
keasinan.

"Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat
tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau."
Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa
bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa
asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah
di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil
mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir
danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan
membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin
dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya
kepadanya, "Bagaimana rasanya?"

"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan
punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber
air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.
Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang
tersisa di mulutnya.

"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"

"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan
meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya,
membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah
dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih.
Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus
kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai
untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang
dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun
demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang
bebas dari penderitaan dan masalah."

Si murid terdiam, mendengarkan.

"Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat
tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau."
Sphere: Related Content